lukisan hidupku

lukisan hidupku
magic colour

Selasa, 09 November 2010

etika dokter dalam memberikan resep



Jika harga obat mahal, itu karena dalam harga tersebut ada profit yang diserap pabrik, agen, dokter hingga penjual obat alias apotik
Kata orang kita harus berhati-hati menjaga kesehatan, sebab biaya untuk sehat justru lebih murah dibandingkan berobat ketika sakit. Sebagian kita yang berobat ke dokter merasa senang ketika dokter mengeluarkan hasil diagnosanya sembari mencoret-coret kertas khususnya agar kita membeli obat di apotik. Kita senang karena melalui resep si dokter itu, kitapun dapat mengagak antara kecukupun duit dengan kemahalan obat yang harus kita tebus. Jika kocek kurang, kita cukup beli setengah saja.
Tetapi sebagian kita justru jengkel jika dokter hanya mengeluarkan resep serta tidak memberi obat pada pasien dari kotak obat dokter yang tersedia di tempat dokter berpraktek. Jengkel karena di benak kita setidaknya si dokter dapat memberikan obat-obat generik sebagai imbalan terhadap rasa sakit yang kita derita. Selanjutnya jikapun dokter memberi resep tambahan obat, kita tinggal memilih membelinya atau cukup obat yang diberi dokter saja. Tentu saja masalah kualitas obat sering tidak diperdulikan. Apa yang penting saat itu adalah bagaimana obatnya murah, langsung diterima, sekaligus dapat menyembuhkan.
Di tengah dua perbedaan pandangan itu dan sembari menanti panggilan dokter di ruang tunggu sering terlihat seseorang yang membawa berbagai obat dalam tasnya juga sedang menunggu signal untuk masuk ke ruang dokter. Tentu saja sudah menjadi rahasia umum, bahwa mereka adalah agen-agen pendistribusi obat pabrikan (PBF) yang akan menawarkan obat-obat mereka pada dokter untuk digunakan oleh pasien.
Benarkah dokter dalam mendiagnosa penyakit pasien dapat serta merta memberikan obat? Ataukah dokter hanya boleh mengeluarkan resep? Benarkah dokter mampu menyerap secara benar farmakologi? Ataukah diperlukan keselarasan antara dokter dengan apoteker untuk menghindarkan mall praktek dan biaya berobat yang mahal? Bagaimana jika terjadi pelanggaran etika profesi oleh dokter? Tentu ini menarik.
Pasien dengan si dokter
Lima puluh persen ada perasaan sembuh ketika pasien berjumpa dengan dokter. Senyum dan keramahan si dokter serta kemampuan diagnosanya sering membuat pasien justru sembuh sebelum makan obat. Anehkan? Tetapi tidak mustahil juga harapan itu justru “jungkir balik”. Maksud hati ingin mendapat sentuhan hati sang dokter tetapi yang terjadi justru dokter menambah penyakit karena sikapnya yang tidak memahami bahwa pasien butuh konseling. Maklum pasiennya banyak.
Memang pasien berbeda prilaku. Kebanyakan pasien sangat mengharapkan obat murah yang telah disimpan rapi oleh dokter di tempat praktek. Karena selain murah pasien berharap dokter berniat memberinya obat yang tepat untuk dimakan dan menyembuhkan dalam kurun waktu yang tidak lama. Seperti biasa, dokter menyuruh pasien datang kembali setelah tiga hari, dan kalau tidak sembuh dokter akan mengganti obat. Tetapi kali ini obat yang sedikit lebih mahal. Dan, akhirnya jika tidak sembuh juga, pasienpun akan bosan dan mencari dokter lain.
Berbeda dengan mereka yang masuk pada katogori golongan behave. Pasien pada golongan ini biasanya lebih suka menerima resep dokter dan membeli obat di apotik dengan harga berapapun, yang penting sembuh, tetapi tidak pernah paham seperti apa kandungan obat yang dia makan. Begitu sembuh, pasien langsung gembira dan bercerita pada teman-temannya bahwa dokter “anu” bagus. Tetapi begitu pasien tidak sembuh juga diapun tancap gas cari dokter yang dianggapnya lebih ahli dan lebih mahal.
Jual obat?
Anda mungkin salah seorang yang sering ke dokter dan sering melihat beberapa sales dengan sabar menunggu untuk berjumpa dokter. Jangan salah, mereka bukan pasien tetapi mereka adalah agen obat dari perusahaan obat tertentu dalam dan luar negeri, atau agen obat melalui sistim pemasaran yang jargonnya multilevel marketing.
Nah, kali ini justru yang jadi pasiennya malah dokter. Biasanya dokter menyimak setiap untaian kata manis dari Pendistribusi Obat (PBF) yang bercerita tentang khasiat obat, jadwal pemakaian hingga sampai sharing profit. Tak jarang dokter terkena hipnotis agen, dan dokter berubah menjadi agen obat yang siap memasarkan obat yang dibawa melalui pembuatan resep pada pasien.
Dapatkah anda membayangkan berapa harga obat melalui resep dokter? Tentu saja tidak, karena anda dan saya pasti tidak mengetahui bagaimana price spread dari obat yang kita beli. Namun, anda tidak perlu kaget jika obat yang anda beli itu mahal, karena dalam harga itu ada profit yang diserap pabrik, agen, dokter hingga penjual obat alias apotik.
Kasihan sekali kalau anda yang sakit tidak memiliki uang atau anda pada posisi ekonomi lemah. Anda cuma bisa ke Puskesmas atau Posyandu dan bersiap menerima obat generik yang melimpah tetapi sulit menyembuhkan. Sekali anda berani pergi ke dokter spsialis dan menerima resep, maka anda akan mengeluh setengah mati karena anda harus berhutang sana dan sini hanya untuk sembuh.
Sanksi dan etika profesi
Pemberian obat mahal melalui resep oleh dokter yang harus ditebus dengan harga yang terkadang tidak terjangkau oleh pasien sebenarnya adalah perbuatan yang melanggar etika profesi. Jika dokter mengetahui persis bahwa pasien cukup diberikan obat yang generik atau herbal yang relatif murah, maka adalah tidak etis jika mengarahkan pasien memberi obat yang pabrikan yang bernuansa bisnis.
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan penguasa waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.
Selain Kode Etik Profesi di atas praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip moral kedokteran yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Maka kesan pertamapun muncul bahwa sebenarnya menjadi dokter itu beratkan. Karena dokter tidaklah sama dengan penjual obat. Seorang dokter mengedepankan etika profesi yang melekat dalam dirinya dan jika dokter menjunjung azas bisnis dalam menjalankan profesi maka sesungguhnya telah terjadi pelanggaran etik oleh si dokter. Dalam hal ini IDI (Ikatan Dokter Indonesia) boleh memberikan sanksi.
IDI memiliki sistim pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi. Sanksi yang lemah seperti sanksi moral atau sangsi disiplin profesi dalam bentuk peringatan sering tidak menjerakan si dokter yang nakal alias menjadi agen obat. Sudah seharusnya sanksi lebih berat dilakukan bagi mereka yang melanggar kode etik profesi seperti pencabutan izin praktek atau mencopot gelar dokter.
Oleh sebab itu, untuk mencapai keselarasan dalam Kode Etik Dokter maka perlu adanya konsekuensi yang jelas antara kinerja dokter sebagai pendiagnosis dan PBF sebagai distributor obat. Tentu saja tidaklah etis jika dokter mengedepankan azas bisnis dalam profesinya sebagai tenaga medis, terlebih lagi dalam menjual obat yang terlampau mahal.
Penutup
Etika profesi dokter adalah sesuatu yang melekat dalam diri dokter itu sendiri. Ketika dokter menjadi agen perusahaan obat maka yang terjadi adalah pasien akan bertambah miskin, miskin pendapatan miskin pula kesehatan. IDI mesti mengambil peran sesungguhnya bukan peran semu. Kasihanilah pasien yang sedang sakit dan hindarilah mereka dari keluhan bahwa begitu mahalnya berobat ke dokter. Beri pasien kesembuhan sembari mereka tidak berkeluh kesah. (Arga Abdi Rafi’ud Daradjat & Adhana Putri : Penulis adalah mahasiswa Farmasi USU )


1 komentar:

  1. wah tulisan saya hehe
    Silahkan berkunjung di blog saya intelektual-indonesia.blogspot.com

    BalasHapus